KOPI RUMBIA JENEPONTO TURATEA

Kopi Arabica Rumbia berasal dari dataran tinggi Kab. Jeneponto Sulawesi Selatan

Sabtu, 17 September 2016

Kopi Arabika Rumbia Madu dari Pegunungan Lompobattang



Tidak sepenuhnya benar jika ada ungkapan bahwa Bumi Turatea sebagai julukan kabupaten Jeneponto merupakan daerah kering dan gersang. Karena dalam wilayah administratif kabupaten Jeneponto terdapat satu kecamatan berada pada dataran tinggi yang memiliki tanah subur, cuaca dingin dan panorama alam yang indah dengan beberapa potensi objek wisata alam, yakni kecamatan Rumbia kabupaten Jeneponto yang berbatasan dengan kecamatan Malakaji kabupaten Gowa. 

Kecamatan Rumbia merupakan daerah penghasil sayur-sayuran dan buah-buahan serta daerah destinasi wisata alam pegunungan di Jeneponto. Selain sayur dan buah, kecamatan Rumbia juga penghasil kopi seperti di desa Ujung Bulu. Desa Ujung Bulu terletak di kaki Gunung Lompobattang yang berada pada kisaran ketinggian 1.400 mdpl, memiliki tanah perbukitan yang subur dengan panorama alam yang hijau nan indah. Sepanjang kiri dan kanan jalan desa hanya terlihat tanaman kopi dan beberapa komoditi hortikultura, terdapat kebun kopi dengan luas sekitar 150 hektar. Hampir setiap KK memiliki kebun kopi, sehingga produksi kopi di desa Ujung Bulu mencapai ratusan ton per tahun.

Namun walau pun demikian, kopi dari desa Ujung Bulu ini tidak begitu dikenal masyarakat luas sebagai kopi yang bersumber dari Ujung Bulu atau Rumbia maupun dari Jeneponto. Hal itu terjadi karena ulah para oknum tengkulak yang mengambil kopi di desa Ujung Bulu kecamatan Rumbia kabupaten Jeneponto, tapi saat menjualnya mengatakan kalau kopi itu berasal dari Malakaji kabupaten Gowa atau menyebutnya dari kabupaten Bantaeng.

Tanaman kopi di Jeneponto sudah ada sejak awal tahun 1980-an. Kala itu kopi yang ditanam adalah kopi jenis arabika dengan tajuk yang tinggi sehingga perlu pengait untuk melengkungkan batangnya saat panen, kopi itu lebih dikenal dengan sebutan kopi Bantaeng karena masuk ke Jeneponto melalui bibit kopi asal Bantaeng. Selain kopi jenis arabika, masyarakat desa Ujung Bulu kecamatan Rumbia juga menanam kopi jenis robusta.

Pada pertengahan tahun 1980-an, barulah masuk tanaman kopi jenis arabika dari kabupaten Gowa yang oleh masyarakat disebut kopi Arabika Gowa dengan tajuk yang lebih pendek. Kopi inilah yang kemudian dikembangkan di desa Ujung Bulu. Sementara kopi jenis robusta ditebang lalu dilakukan sambung pucuk dari kopi jenis arabika. 

Kopi madu sendiri memang baru dikenal sekitar dua tahun yang lalu dari sebuah seminar kopi di Makassar. Oleh narasumber seminar pada waktu itu mengemukakan bahwa ada kopi yang paling enak untuk disantap, yaitu kopi madu. Sehingga belakangan ini memang sedang ramai diperbincangkan tentang kopi madu dan kita selaku warga Jeneponto khususnya dan Sulawesi Selatan pada umumnya tentunya sangat bersyukur karena kopi madu ini hanya tumbuh di Jeneponto dan tidak ada di tempat lain.

Mengenai kualitas kopi di desa Ujung Bulu tidak bisa diragukan lagi, karena peneliti asal Jepang sudah pernah datang langsung beberapa tahun lalu untuk meneliti rasa kopi yang tumbuh di desa Ujung Bulu dan peneliti Jepang tersebut mengakui bahwa kopi di sini sangat spesial, tidak ada di tempat lain. Alasannya karena memiliki kelebihan tersendiri, yaitu tingkat keasamannya rendah dan bercita rasa madu. Kopi di desa Ujung Bulu juga sudah dikembangkan dan sudah dipromosikan bahkan sampai ke Jakarta. Sementara sedang dalam proses pembuatan standarisasi untuk depkes. 

Kopi dari desa Ujung Bulu menjadi spesial karena metode perawatan tanaman kopi yang dilakukan petani desa tersebut berbeda dengan daerah lain. Dikatakan kopi madu karena saat penjemuran, ada lebah madu yang hinggap di butiran kopi. Anggapannya lebah akan hinggap karena ada kandungan madu atau sesuatu yang manis di situ. Sedangkan pada kopi biasa, malah yang hinggap adalah lalat.

Secara umum, proses tahapan pengolahan kopi madu dimulai dari pemetikan kopi yang betul-betul matang di pohonnya. Selanjutnya kopi digiling untuk mengupas kulitnya lalu difermentasi selama dua hari. Kopi fermentasi selanjutnya dijemur hingga tiga hari atau berada pada kadar air 11% - 12%. Dengan alat manual, kopi disangrai selama 30 menit. Untuk hasil kopi cita rasa madu yang kuat, kopi matang yang telah digiling langsung dijemur sampai kering. Proses pengeringannya memang memakan waktu yang lama, tapi disitulah tantangannya.

Selama ini nyaris kita tak pernah mendengar atau mengenal Kopi Jeneponto, sangat berbeda dengan Enrekang dan Toraja. Padahal Kopi Madu lebih menyajikan cita rasa yang memanjakan lidah dan tenggorokan, tentu akan memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan jika dikelola dengan baik. Suatu saat nanti jika orang berkunjung ke Sulawesi Selatan, mereka tak lagi mencari Kopi Toraja atau Kopi Enrekang. Tapi mereka akan mencari Kopi Madu Jeneponto.

Alam dan desa kita memang sangat kaya. Sangat disayangkan jika desa yang menjadi sumber kekuatan ekonomi tidak bisa berpesta di atas kejayaan hasil buminya. Tinggal bagaimana kita saling mendukung untuk membangun desa berdasarkan potensi alaminya. Bagaimana membangun kepercayaan diri petani kita hingga suatu saat mereka berkata, "Saya Bangga Jadi Petani."

"Desa harus jadi kekuatan ekonomi. Agar warganya tak hijrah ke kota. Sepinya desa adalah modal utama. Untuk bekerja dan mengembangkan diri" (Desa, Iwan Fals).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar