Tidak sepenuhnya benar jika ada
ungkapan bahwa Bumi Turatea sebagai julukan kabupaten Jeneponto merupakan
daerah kering dan gersang. Karena dalam wilayah
administratif kabupaten Jeneponto terdapat satu kecamatan berada pada dataran
tinggi yang memiliki tanah subur, cuaca dingin dan panorama alam yang
indah dengan beberapa potensi objek wisata alam, yakni kecamatan Rumbia
kabupaten Jeneponto yang berbatasan dengan kecamatan Malakaji kabupaten
Gowa.
Kecamatan Rumbia merupakan daerah
penghasil sayur-sayuran dan buah-buahan serta daerah destinasi wisata alam
pegunungan di Jeneponto. Selain sayur dan buah, kecamatan Rumbia juga penghasil
kopi seperti di desa Ujung Bulu. Desa Ujung Bulu terletak di kaki Gunung
Lompobattang yang berada pada kisaran ketinggian 1.400 mdpl, memiliki tanah
perbukitan yang subur dengan panorama alam yang hijau nan indah. Sepanjang kiri
dan kanan jalan desa hanya terlihat tanaman kopi dan beberapa komoditi
hortikultura, terdapat kebun kopi dengan luas sekitar 150 hektar. Hampir setiap
KK memiliki kebun kopi, sehingga produksi kopi di desa Ujung Bulu mencapai
ratusan ton per tahun.
Namun walau pun demikian, kopi dari
desa Ujung Bulu ini tidak begitu dikenal masyarakat luas sebagai kopi yang
bersumber dari Ujung Bulu atau Rumbia maupun dari Jeneponto. Hal itu terjadi
karena ulah para oknum tengkulak yang mengambil kopi di desa Ujung Bulu
kecamatan Rumbia kabupaten Jeneponto, tapi saat menjualnya mengatakan kalau
kopi itu berasal dari Malakaji kabupaten Gowa atau menyebutnya dari kabupaten
Bantaeng.
Tanaman kopi di Jeneponto sudah ada
sejak awal tahun 1980-an. Kala itu kopi yang ditanam adalah kopi jenis arabika
dengan tajuk yang tinggi sehingga perlu pengait untuk melengkungkan batangnya
saat panen, kopi itu lebih dikenal dengan sebutan kopi Bantaeng karena masuk ke
Jeneponto melalui bibit kopi asal Bantaeng. Selain kopi jenis arabika,
masyarakat desa Ujung Bulu kecamatan Rumbia juga menanam kopi jenis robusta.
Pada pertengahan tahun 1980-an,
barulah masuk tanaman kopi jenis arabika dari kabupaten Gowa yang oleh
masyarakat disebut kopi Arabika Gowa dengan tajuk yang lebih pendek. Kopi
inilah yang kemudian dikembangkan di desa Ujung Bulu. Sementara kopi jenis
robusta ditebang lalu dilakukan sambung pucuk dari kopi jenis arabika.
Kopi madu sendiri memang baru
dikenal sekitar dua tahun yang lalu dari sebuah seminar kopi di Makassar. Oleh
narasumber seminar pada waktu itu mengemukakan bahwa ada kopi yang paling enak
untuk disantap, yaitu kopi madu. Sehingga belakangan ini memang sedang ramai
diperbincangkan tentang kopi madu dan kita selaku warga Jeneponto khususnya dan
Sulawesi Selatan pada umumnya tentunya sangat bersyukur karena kopi madu ini
hanya tumbuh di Jeneponto dan tidak ada di tempat lain.
Mengenai kualitas kopi di desa Ujung
Bulu tidak bisa diragukan lagi, karena peneliti asal Jepang sudah pernah datang
langsung beberapa tahun lalu untuk meneliti rasa kopi yang tumbuh di desa Ujung
Bulu dan peneliti Jepang tersebut mengakui bahwa kopi di sini sangat spesial,
tidak ada di tempat lain. Alasannya karena memiliki kelebihan tersendiri, yaitu
tingkat keasamannya rendah dan bercita rasa madu. Kopi di desa Ujung Bulu juga
sudah dikembangkan dan sudah dipromosikan bahkan sampai ke Jakarta. Sementara
sedang dalam proses pembuatan standarisasi untuk depkes.
Kopi dari desa Ujung Bulu menjadi
spesial karena metode perawatan tanaman kopi yang dilakukan petani desa
tersebut berbeda dengan daerah lain. Dikatakan kopi madu karena saat penjemuran,
ada lebah madu yang hinggap di butiran kopi. Anggapannya lebah akan hinggap
karena ada kandungan madu atau sesuatu yang manis di situ. Sedangkan pada kopi
biasa, malah yang hinggap adalah lalat.
Secara umum, proses tahapan
pengolahan kopi madu dimulai dari pemetikan kopi yang betul-betul matang di
pohonnya. Selanjutnya kopi digiling untuk mengupas kulitnya lalu difermentasi
selama dua hari. Kopi fermentasi selanjutnya dijemur hingga tiga hari atau
berada pada kadar air 11% - 12%. Dengan alat manual, kopi disangrai selama 30
menit. Untuk hasil kopi cita rasa madu yang kuat, kopi matang yang telah
digiling langsung dijemur sampai kering. Proses pengeringannya memang memakan
waktu yang lama, tapi disitulah tantangannya.
Selama ini nyaris kita tak pernah
mendengar atau mengenal Kopi Jeneponto, sangat berbeda dengan Enrekang dan
Toraja. Padahal Kopi Madu lebih menyajikan cita rasa yang memanjakan lidah dan
tenggorokan, tentu akan memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan jika dikelola
dengan baik. Suatu saat nanti jika orang berkunjung ke Sulawesi Selatan, mereka
tak lagi mencari Kopi Toraja atau Kopi Enrekang. Tapi mereka
akan mencari Kopi Madu Jeneponto.
Alam dan desa kita memang sangat
kaya. Sangat disayangkan jika desa yang menjadi sumber kekuatan ekonomi tidak
bisa berpesta di atas kejayaan hasil buminya. Tinggal bagaimana kita saling
mendukung untuk membangun desa berdasarkan potensi alaminya. Bagaimana
membangun kepercayaan diri petani kita hingga suatu saat mereka berkata, "Saya
Bangga Jadi Petani."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar